SALINDIA.ID – Banda Aceh, Tindak pidana perdagangan orang (TPPO), atau yang dikenal dengan human trafficking, terus menjadi bayang-bayang gelap yang mengancam, dengan perempuan dan anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh menyoroti serius fenomena ini, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk pencegahan dan penanganan korban.
Kasus perdagangan manusia bukan lagi isu asing. Menurut data nasional dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dari tahun 2017 hingga Oktober 2022, tercatat 2.356 laporan korban TPPO. Lebih dari separuhnya, yaitu 50,97% adalah anak-anak, sementara 46,14% adalah perempuan dan sebanyak 2,89% merupakan laki-laki. Angka ini menunjukkan betapa krusialnya perlindungan terhadap dua kelompok ini.
Di Aceh sendiri, meskipun skalanya tidak sebesar wilayah lain, kasus perdagangan manusia tetap menjadi perhatian. Contoh paling mencolok saat ini adalah penyelundupan imigran etnis Rohingya, di mana banyak perempuan dan anak-anak menjadi korban eksploitasi sindikat. Selain itu, beberapa kasus lokal juga menunjukkan pola serupa, seperti penjualan anak oleh orang tua kandung demi keuntungan pribadi.
Kepala DP3A Aceh Meutia Juliana, menjelaskan bahwa pihaknya terus berupaya menangani kasus-kasus ini.
“Aparat penegak hukum adalah mitra utama kami dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk tindak pidana perdagangan orang,” ujar Meutia
Ia menambahkan bahwa kepolisian dan lembaga hukum lainnya tergabung dalam Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Provinsi, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 260/936/2022.
Meutia menekankan bahwa penanganan korban TPPO menuntut koordinasi, kolaborasi, dan kerja sama yang erat, khususnya dalam aspek penegakan hukum untuk memastikan keadilan bagi para korban. Lebih lanjut, DP3A Aceh juga menggarisbawahi peran krusial masyarakat.
“Partisipasi aktif masyarakat sangat dibutuhkan, baik dalam memberikan informasi atau melaporkan dugaan TPPO, maupun dalam membantu penanganan korban,” Meutia Tiara.
Penanganan kasus perdagangan manusia, terutama yang melibatkan perempuan dan anak di Aceh, membutuhkan keterlibatan seluruh elemen masyarakat: pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat.
“Sinergi ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan melindungi kelompok rentan dari ancaman kejahatan luar biasa ini,” tutupnya.