SALINDIA.ID – Jakarta, Indonesia yang terdiri dari sekitar 17.000 ribu pulau, dengan jumlah penduduk mencapai 278.696.200 jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Juni 2023, juga dianugerahi dengan alat musik unik, salah satunya yakni Sasando.
Alat musik tersebut turut dipamerkan dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) ke-56 di Jakarta, pada 10-14 Juli 2023. AMM merupakan rangkaian KTT ke-43 ASEAN pada September 2023 di Jakarta.
Sasando berasal dari Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Alat musik itu merupakan hasil kebudayaan masyarakat lokal yang sudah dikenal sampai mancanegara.
Seperti dilansir laman rotendaokab.go.id, cara memainkan alat musik ini dipetik. Sasando biasanya dimainkan memakai kedua tangan dari arah berlawanan. Tangan kanan dipakai untuk memainkan akord, semantara tangan kiri untuk memainkan bass/melodi.
Sasando membutuhkan teknik dan harmonisasi supaya menghasilkan suara yang merdu. Orang yang bermain sasando butuh latihan dan keterampilan dalam memetik alat musik ini.
Ketrampilan tangan akan berpengaruh pada tempo dan suara yang dihasilkan sasando.
Sasando memiliki suara bervariasi yang unik. Alat musik ini bisa digunakan untuk musik tradisional, pop, dan genre musik lainnya kecuali musik elektrik.
Berdasarkan jurnal berjudul “Transmisi Alat Musik Sasando Sebagai Media Seni Budaya Di Kabupaten Rote Ndao Provinsi Nusa Tenggara Timur” berikut fungsi alat musik Sasando:
1. Menjadi kebanggaan bangsa Indonesia
Alat musik khas NTT ini dikenal sampai mancanegara seperti gitar dan harpa. Sasando bisa digunakan sebagai alat musik melodis dan harmonis. Satu orang pemain Sasando bisa menghasilkan paduan nada indah.
2. Terapi
Menurut sejarah, Sasando dulunya menjadi alat musik terapi penyembuhan kusta yang menyebar di pulau Rote.
3. Fungsi Hiburan
Sasando digunakan sebagai media hiburan dan wisata masyarakat.
Bentuk sasando cukup unik, yaitu tabung panjang yang terbuat dari bambu khusus. Di bagian bawah dan atas terdapat cara memasang dawai. Bagian atas ini berfungsi untuk mengencangkan dawai.
Di bagian tengah bambu, terdapat penyangga (senda) untuk merentangkan dawai. Senda berfungsi mengatur tangga dan nada. Tangga dan nada ini akan menghasilkan petikan dawai berbeda. Bagian wadah terbuat dari anyaman daun lontar atau haik. Fungsi wadah yaitu menghasilkan resonansi (getaran yang menimbulkan suara).
Kata Sasando berasal dari bahasa Rote “Sasandu” yang artinya bergetar atau berbunyi. Alat musik ini digunakan untuk pengiring membaca syair, pernikahan, tarian tradisional, dan menghibur keluarga yang berduka.
Ada beberapa versi cerita tentang sejarah alat musik Sasando. Salah satu cerita populer adalah kisah Sangguana yang terdampar di Pulau Ndana. Sangguana kemudian jatuh cinta pada putri raja, namun sang Raja memberi syarat untuknya. Syarat tersebut adalah membuat alat musik yang berbeda dengan alat musik lainnya.
Sangguana menyetujui persyaratan tersebut. Kemudian dia bermimpi memainkan alat musik yang indah dan bersuara merdu. Akhirnya Sangguana membuat alat musik tersebut yang diberi nama Sasando. Alat musik itu diserahkan pada Raja.
Ketika mendengar suara petikan merdu tersebut, sang Raja kagum dengan alat musik buatan Sangguana. Akhirnya sang Raja menyetujui pernikahan putrinya dengan Sangguana.
Dahulu Sasando Sanggana yang dikenal sekarang berdawai tujuh. Dawai tersebut dibuat dari akar pohon Beringin. Kemudian diganti menjadi usus hewan yang sudah dikeringkan.
Berkembangnya alat musik yang dipetik seperti gitar dan biola, membuat bahan sasando berubah. Sasando menggunakan senar kawat untuk dawainya. Menurut cerita, proses pembuatan Sasando mengalami perubahan.
Awalnya, musik Sasando memiliki nada yang disesuaikan seperti alat musik gong. Jumlah dawai awalnya 7 berubah menjadi 9 dan 10. Cerita lain menyebutkan penemu Sasando berawal dari dua orang sahabat.
Sahabat tersebut adalah Lunggi Lain dan Balok Ama Sina. Mereka adalah penggembala domba yang kemudian membuat sasando. Awalnya mereka menemukan wadah penampung air tuak yang terbuat dari daun lontar.
Kemudian mereka mengubah lembaran daun lontar menjadi semacam benang atau fifik (dalam bahasa Rote). Benang tersebut dikencangkan kemudian dipetik. Ternyata benang tersebut menghasilkan suara.
Tetapi fifik tersebut mudah putus. Akhirnya Lunggu dan Ama Sina mengembangkan benang untuk alat musik petik mereka. Hasilnya suara Sasando dulu hampir mirip dengan suara gong.
Alat musik Sasando dimainkan seorang seniman di sela-sela Pertemuan Menteri Luar Negeri (Menlu) ASEAN ke-56 di Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Foto: InfoPublik/Agus Siswanto
Sumber Berita : InfoPublik.Id