KNTI, ECONUSA dan FEB – UI Gelar FGD Bersama Nelayan Aceh Selatan

SALINDIA.ID – Aceh Selatan, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Nature Culture Conservation (ECONUSA) dan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia ( FEB – UI ) menggelar Focus Grup Discussion (FGD) bersama nelayan Aceh Selatan di Gampong Ujong Puloe Rayeuk Kecamatan Bakongan Timur, Senin (10/7/2023) .

FGD ini digelar dengan tema Survey Kerentanan Ekonomi Sosial Nelayan, merupakan tindak lanjut dari kegiatan survey kerentanan ekonomi sosial nelayan sebagai upaya perlindungan nelayan kecil dan tradisional terhadap dampak perubahan iklim, akses terhadap energi dan wilayah kelola nelayan.

Sebelumnya KNTI, ECONUSA dan FEB-UI telah melakukan survey nelayan sejak 15 hingga 29 Juni 2023 di Kecamatan Bakongan Timur. Perwakilan DPP KNTI, Miftahul Khausar dalam sambutannya menyampaikan, salam dan permohonan maaf dari ketua umum KNTI, Dani Setiawan yang tidak dapat berhadir langsung di acara tersebut karena satu dan lain hal.

Miftahul Khausar, juga menyampaikan terimakasih atas sambutan yang hangat dari pengurus DPD KNTI Aceh Selatan dan nelayan Aceh Selatan.

” Melalui FGD ini, kami ingin menangkap langsung permasalahan – permasalahan nelayan di Aceh Selatan, persoalan yang ada akan kita sampaikan ke dewan pengurus pusat untuk kita sampaikan pemerintah daerah atau pusat untuk diberikan perhatian khusus,” ucapnya dalam sambutan tersebut.

Miftahul menjelaskan, saat ini KNTI sedang fokus memperjuangkan empat isu nelayan diantaranya untuk menjamin hak wilayah tangkap nelayan, hak penjaminan sosial, pengembangan ekonomi mandiri dan permasalahan krisis iklim.

Menurutnya untuk permasalahan hak wilayah tangkap nelayan sudah mulai muncul di setiap daerah, seperti masuknya kapal-kapal tongkang di wilayah tangkap nelayan.

” Hal ini sedang fokus kami kaji, jika ada permasalahan serupa bisa disampaikan di forum ini tentang hak wilayah tangkapnya seperti apa, apa ada gangguan di hak wilayah tangkapnya dan sebagainya,” urainya.

Sementara itu, permasalahan hak penjaminan sosial, beberapa tahun terakhir KNTI sudah memperhitungkan bagaimana caranya nelayan bisa mendapatkan BPJS ketenagakerjaan, karena nelayan masuk dalam pekerjaan resiko tinggi.

” Kami juga turut berdukacita atas meninggalnya salah satu anggota nelayan kita baru-baru ini, itu salah satu pukulan bagi kami KNTI, itulah kenapa kami memperjuangkan agar anggota KNTI dan nelayan harus memiliki BPJS ketenagakerjaannya,” imbuhnya.

Miftahul yang merupakan biro luar negeri DPP KNTI ini juga menyampaikan bahwa pengembangan ekonomi mandiri nelayan berfokus kepada bagaimana nelayan punya usaha perikanan,koperasi dan pengolahan ikan ke berbagai macam produk yang mempunyai daya jual yang lebih tinggi.

” Sedangkan permasalahan krisis iklim, saat ini banjir rob semakin sering terjadi, cuaca tidak stabil, ombak tinggi yang sudah tidak terbaca lagi oleh orang tua kita yang dulu dapat membaca cuaca, arti ada pergerakan alam yang tidak kita ketahui yang dikenal dengan krisis iklim, inilah yang ingin kita lihat bagaimana krisis iklim ini berdampak langsung pada nelayan. Banyak lembaga lain yang melihat itu sebagai bias darat, padahal dampaknya sangat berpengaruh pada nelayan,” tambahnya.

Ia menambahkan, selain fokus tersebut KNTI juga menangkap permasalahan lainnya dari nelayan di Aceh Selatan yang akan dibantu perjuangkan. Melalui diskusi kelompok ini kita akan membahas tentang survey kerentanan ekonomi sosial nelayan, dimana para peserta FGD adalah enumurator surveyor, nantinya hasil penelitian tersebut dapat dijadikan masukan buat pemerintah dan bermanfaat bagi kehidupan nelayan.

Dalam Materi FGD tersebut didapatkan persoalan nelayan yang sangat mendasar seperti belum semua nelayan di Aceh Selatan mempunyai kartu Kusuka yang merupakan identitas nelayan untuk keperluan administrasinya.

Dalam tanggapannya Miftahul Khausar membeberkan bahwa persoalan kartu Kusuka saat ini sedang hangat menjadi pembahasan, ada sebagian nelayan yang menentang karena merasa tidak tau manfaatnya dari kartu tersebut.

“Sebagai informasi, prospeknya nanti kartu Kusuka itu bisa menjadi alat transaksi nelayan,ini masih rencana, apapun kebijakan pemerintah yang bermanfaat bagi nelayan kita dukung kalau tidak bermanfaat kita tolak,” ucapnya.

Sementara itu persoalan lain yang didapatkan dari nelayan Aceh Selatan adalah kemudahan melayan dalam mendapatkan BBM bersubsidi, nelayan menguraikan beberapa persoalan mulia dari stok BBM yang sering habis saat dibeli di SPBU dan SPBUN, pengurusan rekomendasi BBM bersubsidi yang memiliki jarak sangat jauh, hingga adanya kecurigaan nelayan tentang adanya permainan terkait ketersediaan BBM bersubsidi tersebut. Hal ini juga diakui nelayan memaksakan mereka harus membeli BBM di pengecer dengan harga yang lebih mahal.

Menanggapi hal itu, perwakilan DPP KNTI menegaskan permasalahan BBM bersubsidi tersebut sudah lama terjadi, KNTI fokus memperjuangkan BBM bersubsidi dan tidak main-main, salah satu pencapaian terbesar KNTI adalah dimana KKP memberi amanah untuk menjadi operator pendataan Kusuka kepada KNTI.

Semantara itu, untuk jaminan BPJS Kesehatan, nelayan mengakui sudah sangat puas dengan pelayanan BPJS tersebut, namun kendala umum yang didapatkan adalah saat pasien harus dirujuk ke rumah sakit, kebanyakan Puskesmas meminta biaya ambulans terlebih dahulu kepada pasien

Nelayan di Aceh Selatan juga mengharapkan adanya Cold Storage (tempat pendingin ikan) agar hasil tangkapannya dapat disimpan lebih lama dan dapat kembali dijual dengan harga yang wajar, sebab selama ini nelayan di Aceh Selatan menyimpan hasil tangkapannya dalam fiber sehingga mempercepat ikan tersebut membusuk serta tidak laku dijual.

Kendala atau persoalan lainnya yang dihadapi nelayan Aceh Selatan adalah sistem penjual langsung ikan kepada pembeli atau pengepul yang biasanya ditawarkan dengan harga yang relatif murah, hal itu perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah Kabupaten Aceh Selatan.

Hal yang tak kalah penting saat ini dibutuhkan nelayan Aceh Selatan adalah ketersediaan tempat pelelangan ikan. Ketua DPD KNTI Aceh Selatan, Jeri Rahmat mengatakan permainan harga ikan dapat terjadi karena tidak adanya tempat pelelangan ikan tersebut.

” Hal itu juga berpengaruh pada pendataan ikan hasil tangkap yang setahun terakhir tidak terdata lagi,” ucapnya.

Namun dari semua persoalan tersebut, yang sangat memprihatinkan adalah, penghasilan nelayan tidak lagi dapat mencukupi untuk pembelian kebutuhan pokok, banyak faktor yang mendasarinya selain persoalan cuaca, akses BBM bersubsidi kurangnya fasilitas pendukung dapat menjadi penyebab lainnya.

Dewan Pembina DPD KNTI Aceh Selatan,Isa Anshari yang dimintai pandangannya dalam FGD tersebut juga menyampaikan bahwa perubahan global iklim saat ini sangat berpengaruh bagi pendapatan nelayan, di musim barat dengan kelembaban udara yang tinggi membuat persebaran ikan menipis sehingga mempengaruhi penangkapan ikan. Sedangkan di musim timur, kondisi cuaca yang kering dan agak panas juga tidak disukai oleh ikan, ditambah lagi jarak tempuh lokasi tangkap ikan yang jauh.

” Sehingga perlu adanya fasilitas yang memadai untuk membantu meningkatkan hasil tangkapan nelayan, hal ini juga tidak didukung oleh fokus pemerintah daerah dalam memberdayakan nelayan, sebab pemerintah masih terjebak pada pembangunan infrastruktur,” tutupnya.

Perwakilan ECONUSA, Viga Ananda Wicaksono dalam penutupnya juga menyampaikan semua persoalan yang ada di Aceh Selatan dan di beberapa daerah lainnya merupakan sampel riset tentang persoalan nelayan di Indonesia, semua sampel tersebut akan dikemas dan dijadikan sebuah hasil penelitian untuk dicarikan jalan keluarnya.

” Nanti kita akan membuat rekomendasi kebijakan dari data-data yang didapatkan di lapangan ini,” pungkasnya.

Share :

Related Posts

Add New Playlist