Salindia.id – Anggota DPRD Jawa Timur yang awalnya menduga akan mudah mendapati ganja (cannabis sativa) di Aceh dalam setiap menu kuliner terbantahkan. Padahal dari informasi yang diterimanya dari sejumlah media massa, Tanoh Rencong adalah daerah penghasil tanaman ganja terkenal di Indonesia.
“Ada nggak, sayur gitu yang dari tanaman ganja?” kata Anggota Komisi A DPRD Jawa Timur, Laila, saat melakukan kunjungan kerja ke DPR Aceh, Selasa, 20 September 2022.
Dia menanyakan hal tersebut di salah satu warung di Aceh, ketika hendak menyantap makan siang. Laila berpikir tumbuhan ganja sangat mudah ditemukan dan dapat tumbuh subur di Aceh sehingga turut menjadi kuliner serupa sayur mayur dalam menu khas daerah Serambi Mekkah. Ternyata rasa penasaran Laila musnah seketika lantaran opininya tentang tumbuhan ganja yang populer di kalangan luar dapat ditemukan di Aceh dengan mudah, sejatinya tidak disuguhkan dalam bentuk sayuran atau lalapan dalam kuliner khas Aceh, seperti di warung yang ia sambangi bersama anggota Komisi A DPRD Jawa Timur pada Senin, 19 September 2022.
Hal ini diungkapkan Laila dalam pertemuan dengan Wakil Ketua DPR Aceh, Safaruddin, dan anggota Komisi I DPR Aceh Irmawan dan M Rizki.
Dia mengaku pada awalnya membayangkan akan mudah menemukan tumbuhan ganja yang dipergunakan sebagai bumbu masakan. Laila pun meminta maaf atas ekspektasinya tentang Aceh terkait tumbuhan ganja dalam forum tersebut.
Laila hadir ke DPR Aceh dalam rangka kunjungan kerja anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur untuk mencari masukan terkait perubahan atas Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba (P4GN). Selain Lailatul Qudriah, ikut hadir dalam pertemuan tersebut Anggota Komisi A DPRD Jawa Timur Ratnadi Ismaul, Ubaidillah, dan Masduki.
Sementara itu Ratnadi mengaku kedatangan mereka ke Aceh dalam rangka mencari masukan terkait revisi Perda P4GN. Dia mengatakan saat ini jumlah total penduduk Jawa Timur mencapai 40 juta jiwa yang didominasi oleh suku Madura, Jawa, dan Pandalungan, Using (perpaduan Bali dengan Jawa).
“Kita punya 38 kabupaten kota, kita punya sekitar 8 ribu desa yang semua sudah dimasuki narkoba. Jadi Jawa Timur itu sedang darurat narkoba,” kata Ratnadi.
Inilah yang menyebabkan Anggota Komisi A DPRD Jawa Timur bertandang ke Aceh untuk belajar terkait pencegahan narkoba. Dia turut mempertanyakan apakah Aceh telah memiliki aturan khusus terkait pencegahan narkoba.
“Karena kami tahu Aceh banyak itu (ganja) ya dalam tanda petik,” kata Ratnadi.
Menyikapi hal ini, Wakil Ketua DPR Aceh, Safaruddin mengatakan Aceh memiliki Qanun Nomor 8 Tahun 2018 terkait Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika. Menurut Safaruddin, kondisi Aceh saat ini tidak jauh berbeda dengan Jawa Timur yang juga berstatus darurat narkoba. Namun disebabkan adanya wacana legalisasi ganja untuk medis, banyak pihak yang kemudian mendorong agar tumbuhan ganja dilegalkan.
“Katanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, katanya. Namun kita perlu data empiris juga, fakta-fakta (legalisasi ganja) untuk bisa kita uji kelayakannya,” kata Safaruddin.
Di sisi lain, kata Safaruddin, berdasarkan polisi terdapat berton-ton shabu-shabu yang ditemukan di Aceh. “Jadi pasokan ke Aceh itu sudah (ukuran) ton yang ditemukan, itu yang kira-kira dalam hal ini membuat Mabes Polri dan Polda Aceh kerap melakukan penyergapan di perairan Aceh, karena cukup mudah sekali akses ke perairan kita dari jalur Thailand dan Malaysia,” kata Safaruddin.
Dia mengatakan pasokan narkoba tersebut tak sedikit yang tinggal di Aceh meskipun dalam agendanya akan dipasok untuk daerah lain. Hal tersebutlah membuat Aceh juga berstatus darurat narkoba.
Terkait pencegahan, menurut Safaruddin, Aceh memiliki aturan yang bertujuan untuk menjerat pengedar maupun pengguna narkoba. Salah satunya seperti hukum cambuk selain hukuman pidana yang diatur dalam KUHP.
“Bersih sekali Aceh tidak, Aceh juga dalam darurat narkoba yang kejahatannya memang satu. Tugas dan tanggung jawab kita untuk menyiapkan generasi emas Aceh dan Indonesia,” kata Safaruddin.
Senada dengan Safaruddin, anggota Komisi I DPR Aceh Irmawan juga mengakui bahwa Aceh saat ini dalam status darurat narkoba. Dia mengatakan untuk pencegahan penggunaan narkoba diperlukan keseriusan dari pemerintah.
“Dalam konteks pemerintahan memang diperlukan keseriusan bukan hanya dari kita pemerintah daerah, tetapi Pemerintah Pusat. Apalagi dengan kondisi-kondisi sekarang sangat massif terjadi di seluruh daerah untuk tingkat pelajar,” kata Irmawan.
Maraknya kasus penyalahgunaan narkoba, menurut Anggota Fraksi PKS tersebut, juga dipicu oleh dunia hiburan seperti tempat karaoke dan sebagainya. Sementara di Aceh, tempat-tempat hiburan termasuk tempat karaoke selalu mendapat evaluasi penggunaannya oleh pemerintah.
Dia mencontohkan adanya unjuk rasa yang dilakukan masyarakat di salah satu hotel berbintang di Aceh lantaran menyalahgunakan izin termasuk menjual minuman beralkohol. “Kekuatan yang evaluasi paling kuat itu adalah civil society, yang datang karena menilai itu tidak sesuai dengan kaedah daerah, itu datang,” pungkas Irmawan.[]